Minggu, 26 Februari 2012

Tuhan, AgamaMu apa?

Sebuah pertanyaan yang nyeleneh, lugu atau mungkin sesat?
Sebagai penulis amatir seharusnya saya belum layak untuk menyinggung satu hal yang sering dikaitkan SARA ini. Tapi naluri kepekaan saya begitu menggebu melihat berbagai fenomena sosial yang mengatasnamakan agama.Ya, untuk apa semestinya agama diyakini? Itulah sebab dalam sebungkus blog amatir ini saya ungkap semua kegelisahan saya terhadap apa yang sering mereka sebut Agama. Meski sebelumnya saya khawatir postingan saya berdampak penghakiman religiusitas spiritual pribadi tanpa dasar. Karena itu yang sering saya temui pada orang orang 'langitan' yang hanya melabeli orang itu beriman atau kafir. Tapi sekarang?? saya pun bingung. wah, makanya bagi yang mengaku salafi saya mohon berhenti baca sampai disini saja. Atau kalau mau komentar jangan egois ya. hehe

Dalam artikel ini saya tak akan membawa satu truk ayat ayat suci, tapi lebih mengedepankan logika pengakuan.  Maaf, saya lagi tak mau membagibagikan tiket surga karena itu sudah tugas markting agama yang sudah bertebaran jumlahnya.
Pun juga mohon maaf, saya juga kurang sreg dengan konsep surga yang didengung dengungkan ustadz kebanyakan. Dengan banyak mengiming-imingi surga yang penuh nafsu. Mungkin saya pun terdoktrin oleh novel Kitab Dusta Dari Surga karangan Aguk Irawan yang sedikit banyak menggugat konsep surga yang penuh kemewahan dan pengumbaran nafsu. Seorang Goenawan Mohammad menyebut karya tersebut sebagai sebuah alegori, bukan novel.

Langsung saja saya sedang resah dengan kearogansian sebagian orang yang mengaku Islam. Kenapa saya anggap mengaku? Bukankah Islam adalah agama yang rahmatan lil 'alamin. Rahmat bagi seluruh alam. Seluruh!! apa harus dijelaskan lagi makna seluruh? Ya, dalam KTP saya memang Islam, lalu apakah salah ketika saya mengkritik tingkah polah sebagian dari mereka yang saya rasa overacting. Karena prinsip saya Agama itu bukan kata benda! Ingat bukan kata benda. bukan hak kepemilikan, yang kalau diusik atau dikritik sang pemilik ngamuk. Agama adalah sebuah konsep. Konsep berkehidupan dan bagaimana bisa dianggap sebagai manusia. Sederhananya begini, memang saya menjalani ritual rutinitas sebagaimana umat Islam, tapi saya lebih tertarik konsep surga Budhisme, Nir vana. Ada yang gak setuju?

Lalu bagaimana keegoisan itu timbul? yang kebanyakan tanpa tahu dasar-dasarnya. Pertama membaca pernyataan Karl jaspers (filsuf Eksistensialis Jerman abad 20), bahawa "agama rakyat itu sangat berbahaya", saya kaget. Kenapa bisa? bukankah agama itu sebuah kemuliaan?

Tapi setelah merenungkannya, lalu melihat ekspresi keagamaan umat beragama dalam realitas sosial, saya jadi tersenyum sambil mengangguk ngangguk. Hmm memang beda membaca karya pemikir.
Saya jadi terbayang perilaku umat Islam di level akar rumput. Agama bisa menjadi karcis untuk saling memusuhi, untuk saling membunuh antar sesama manusia.

Lalu bandingkan dengan ekspresi keberagamaan di level cendekiawan.Mereka santai dan bisa duduk mesra dengan umat antar beda agama. bahkan bisa diskusi seru tanpa ada tonjok tonjokan. Sedang di level akar rumput? mereka begitu mudah terbakar dan ngamuk!! Ya, saya setuju dengan Jaspers.

Dulu memang saya hanya mendapat informasi sikap egois umat akar rumput itu dari media, sampai saat saya mengalami realitanya sendiri. sebuah gereja akan dibangun di desa sebelah. tolakan keras mengalir dengan alasan nyeleneh. Seorang tetangga memberi saya makalah tentang penolakan tersebut, yang intinya hanya ada dua pilihan menolak atau mendukung. seperti halnya soal aqidah hanya ada dua pilihan iman atau kafir, tak ada pilihan pertengahan selain itu kecuali munafik!! yang terlanjur mendukung silakan taubat dengan mencabut tanda tangan dukungan, sebelum dosa jariyah mengalir terus meski anda sudah mati.

Asli, saya mau muntah. Apa sebab? saya belum mengetahui apa relevansinya beriman dan kafir dengan sikap toleransi dalam kebinekaan? bisakah kita membumi. membaur seperti nenek moyang kita menjadikan tasbih untuk dzikir, sementara tasbih itu sendiri budaya umat budha?

Ah, percuma saya ngoceh disini. tapi ini yang bisa saya curahkan, karena saya tahu kalau berkoar koar di luar sana, saya bakal dikecam, dihakimi yang tidak tidak. Itu sebabnya saya hanya bisa mengadu ke Tuhan. agar Tuhan bisa turun langsung ke bumi, memberi tahu apa agamaNya.

                                                        Aditya Feri, dalam perjalanan mencari Tuhan

1 komentar:

Panca Nugraha mengatakan...

Mantap artikelnya bro !!! lanjutkan ...

Posting Komentar