
CATATAN 1 TAHUN REVOLUSI PSSI
Petanyaan diatas, yang sering kita dengar akhir-akhir ini sebenarnya sangat mudah dijawab dengan bererapa data dan fakta. Timnas yang tanpa prestasi, liga yang amburadul, mafia wasit dan judi, kerusuhan penonton, laporan audit yang tak pernah transparan, pemain naturalisasi yang bermuara di satu klub dan sebagainya. Tapi ada satu fakta yang jarang dibahas. Pembinaan usia dini yang selama ini terdengar heroik.
Sejak kecil saya sudah dibuai impian punya timnas yang ‘menangan’. Impian itu seakan jadi dekat ketika melihat sepak terjang Kurniawan DJ dkk. Tapi ternyata sampai do’a saya di Final Sea Games tahun lalu, impian itu belum nyata juga.
Dimana letak kesalahannya? Kenapa sepak bola kita belum selamat? Kenapa sepakbola kita justru semakin rusak?
Penelusuran itu ternyata menjadi kekagetan, karena dibalik semua itu ada sebuah kejahatan di sana. Kejahatan apa? Membina puluhan anak ‘pilihan’ dengan berkompetisi di luar negeri tapi menelantarkan ratusan ribu bakat yang tersebar di seluruh nusantara bagi saya adalah kebijakan jahat.
Jahat karena tujuannya kemudian menjadi sangat jelas. Mengirim tim ke luar negeri ternyata lebih praktis, murah tapi efek publikasinya dahsyat. Publikasi untuk apa? Saya yakin kita semua tahu jawabannya.
Murah? Tapi kan biayanya bermilyar-milyar?
Iya, sangat murah malah kalau dibandingkan dengan membangun sebuah sistem pembinaan usia yang berjenjang dan berkesinambungan. Karena pembinaan usia dini berarti menyiapkan dan membiayai talent scout ke seluruh penjuru nusantara, menciptakan sebanyak mungkin pelatih dengan menggelar kursus dan pelatihan khusus untuk pelatih usia dini, membuat akademi-akademi sepakbola lengkap dengan fasilitasnya, akomodasinya, teknologinya, pendidikan anak-anaknya, yang bukan lagi berjumlah puluhan orang tapi menjadi ribuan orang!
Hasil didikan itu juga harus dibikinkan kompetisi berjenjang. Dan usaha ini jauh lebih repot dan makan biaya kalau dibandingkan mengikuti kompetisi yang sudah jadi di Italia atau Uruguay sana. Karena menggelar kompetisi berarti menyiapkan system kompetisinya, menyediakan wasit dan perlengkapan pertandingannya, berjenjang dari tingkat kabupaten sampai nasional. Padahal kompetisi usia dini seperti ini nggak akan menarik publikasi media sehingga tidak menjanjikan popularitas sebagai pengusaha gila bola yang sangat dermawan.
Trus dari segi prestasi apakah pembinaan instant tapi popular ini berhasil?
Gagal!
Primavera, Barreti, camp Belanda dan SAD tidak pernah menghasilkan tim nasional yang tanguh dan berprestasi. Tapi kan menghasilkan pemain bintang seperti Kurniawan DJ, Bima Sakti, Syamsir Alam? Dengan segala hormat apakah mereka bintang kelas dunia? Apakah mereka menyumbang trophy di lemari PSSI?
Mengambil perkataan Coach Timo “pembinaan sepakbola Indonesia selama ini seperti menjaring dalam kolam, padahal kita punya samudera yang sangat luas”. Kesimpulan itu terbukti dengan prestasi dalam skala kecil di kejuaran U17 di Hongkong kemaren.
Memang apa bedanya Timnas U17 yang dikirim PSSI ke Hongkong kemaren dengan timnas U17 sebelum-sebelumnya?
Menjadi juara itu sudah pasti lebih baik daripada jadi bulan-bulanan timor leste seperti yang sudah-sudah. Tapi ada satu yang luput dari perhatian banyak orang. Baru kali ini timnas usia dini dibentuk tanpa ada intervensi pihak lain dan menggunakan sport science dalam pemilihan pemainnya. Inilahnya yang membuat 50% lebih skuad U16 ‘pilihan” PSSI sebelumnya tidak lolos. Tidak percaya? Simak cuplikan berita ini:
Dalam memilih pemain, Indra tak lagi menggunakan metoda ‘tebak-tebak manggis’ tapi telah menggunakan metoda ilmiah. “Inilah 18 terbaik yang ada baik dari data fisik atau kemampuan bermain. Turnamen ini akan menjadi salah satu program seleksi timnas. Setelah ini ada program berkesinambungan dan tentu dengan mengedepankan promosi-degradasi. Jadi, kalau tidak menunjukkan kemampuan terbaik mereka otomatis tersingkir,” ungkap Indra kepada wartawan dalam latihan terakhir menjelang keberangkatan ke Hong Kong.
Jadi tak heran kalau Indra merasa tak punya beban dan tekanan ketika memilih pemain dari kota-kota kecil yang dahulu sengaja dilupakan. “Di masa lalu, rasanya mustahil pemain seperti Samsul Pelu dari Maluku Tenggara, atau Sabeq Fahmi dari Jember, bisa masuk tim. Soalnya mereka cuma anak bawang dari kota kecil dan tak punya sponsor,” katanya..
Nah, jadi ketahuan kan kenapa selama ini kita nggak berprestasi. Kita sudah menyia-nyiakan bakat ratusan ribu anak-anak di seluruh Indonesia hanya karena lebih memilih cara praktis, instant, murah tapi menjajikan popularitas dan image seorang pahlawan sepakbola nasional.
Sampai disini kita sebenarnya bisa mengambil kesimpulan. Apakah mereka itu penyelamat atau justru perusak sepakbola. Karena faktanya sampai periode kepengurusan mereka tidak diakui oleh FIFA yang sampai membentuk komite normalisasi, sepakbola kita belum terselamatkan. Faktanya sepakbola kita sudah rusak dan terhempas ke dasar terendah. Menjadi lucu kalau kemudian mereka, para aktor dibalik kerusakan sepakbola itu, kini menamakan dirinya menjadi penyelamat sepakbola. Bahkan Pahlawan sepakbola.
Bagaimana kondisi sekarang.? Apakah kita bisa mulai berharap?
Hanya dengan persiapan seadanya, dengan bantuan para pemandu bakat yang baru bekerja beberapa bulan, timnas U17 bisa berprestasi dengan seleksi yang objektif. Bayangkan apa jadinya kalau seluruh bakat yang ada sudah terpantau secara sistematis dan siap untuk Timnas. Kita nggak akan lagi mengirim ‘ikan-ikan lele’ menjadi bagian Timnas. Tapi kita akan mengirimkan ikan-ikan hiu yang terlatih dan tertempa ganasnya samudra yang siap membawa kejayaan bangsa.
Melihat langkah awalnya, sepertinya PSSI tidak mengulangi langkah para perusak sepakbola itu. PSSI lebih memilih jalan sunyi yang merepotkan dan menguras kerja keras, makan biaya, penuh pengorbanan, perjuangan panjang bertahun-tahun dan tentu saja minim publikasi dan pujian sebagai pahlawan sepakbola.
Ada harapan di program kepelatihannya Bert Pentury, di Akademi Garudanya Coach Timo, di kompetisi usia dini yang mulai digerakkan, pada seleksi timnas yang fair. Jalan memang masih panjang, gelap dan banyak perompaknya. Tapi dengan kesungguhan, keikhlasan juang dan kebersihan niat, mudah-mudahan mimpi kita melihat timnas yang berprestasi segera menjadi nyata.
Semoga…
0 komentar:
Posting Komentar