Minggu, 26 Februari 2012

Peluruh

Langit Alengka kaku. Kusam, tertutup asap yang entah berapa ribu sumbernya. Masam, ratusan raut wajah mengawang. Di langit yang kusam, langit hati yang ikut masam. Berkerumun lebat, ada mayat. 

Di gubug tua dengan bambu sebagai soko gurunya. Pelan-pelan terdengar lantunan surah Yasiin yang hampir tak terdengar karena hingar warga desa lalu lalang berdatangan. Ada mayat, penghuni gubug tua tersebut. 

Pak Kirdjo, begitu mayat itu disebut ketika hidup. Terbaring di dipan kayu terbungkus kain putih. Bersih. Usianya tak terlalu tua, masih usia produktif kerja. Meski sebagai petani ladang. Ya, baginya semua profesi itu baik asal tidak korupsi. Mencari nafkah untuk anak istri di rumah. Tak merugikan orang lain apalagi membebani negara. Itulah yang membuat Pak Kirdjo merasa benar-benar menjadi manusia. Bukan tikus atau anjing!! 

Apadaya.. Kini raga Pak Kirdjo tak bernyawa. Sebuah peluru panas menembus ubun2nya. Darahnya terkuras habis, mengantarnya ke gerbang kematian. 

Warga desa diam khidmat. Entah apa maksud diamnya. Apakah diam sebuah ancaman? 
Sesekali salah seorang teriak tak jelas. Memaki-maki oknum pembunuh tetangganya tersebut. 
Kaum sudra memanas. Desa Alengka terbakar amarah. 

Tanah moyang mereka lagi sibuk digadaikan. Oknum2 pelindung berganti topeng menjadi preman tanpa pisau lipatnya, tapi mengokang pistol. Senapan, indentitas khas arogansian. 

Tanah desa Alengka, sumber setiap napas warga desa. Dari lahir sampai kembali ke tanah. Tanah desa Alengka, tak cuma bersimbah keringat, kini airmata darah meresap tanah.. Tanah, tanah, tanah ini bagi penghuninya adalah tanah air. Akan mereka perjuangkan dari penjajahan. Tak peduli rambut pirang atau rambut hitam. Keinginan mereka cuma satu, 
jangan rampas hak hidup kami!!

                                                                                                                       aditya feri

0 komentar:

Posting Komentar