Kamis, 21 Juni 2012

Miskin itu komoditi?


Banyak hal membuat perjalanan hidup saya sejenak berhenti, merenung, berpikir meski dengan otak dan pengalaman yang selalu anda akui sangat terbatas. Perintah Tuhan untuk manusia agar selalu menggunakan akal pikiran adalah semacam prinsip dalam menjalani kehidupanku ini. Meski terkadang celah benar salah sangat relatif karena pembenaran massal sangat massiv ditemui. Ruwat Sengkolo dalam teaternya berujar, bisakah kau temui apa saja dari dirimu yang tidak ganjil? Aku
nyerah dengan pertanyaan pangilon seperti itu, anda bisa membantuku menemukan?

Ada orang cerdas tapi menggobloki orang lain, ada orang bodoh baik hati tapi gampang terprovokasi, ada orang cerdas suka menolong tapi niatnya mencuri, ada orang baik tapi dalam berinteraksi dengan orang lain kurang baik sehingga tampak tak baik. Ada pencuri tapi tak pernah sadar dirinya pencuri, ada distributor agama, tapi harta tujuan utamanya, ada yang merasa jika sudah beribadah formal maka ia sudah sholeh dan pantas menghakimi oranglain yang diyakini sangat kotor. Ya mungkin ini semacam dinamika manusia dalam mencari kedirian. Termasuk saya yang banyak salah, salah satunya penggunaan objek orang lain, bukan dengan kata ‘saya’ saja. Hehehe.

Dalam kehidupan negara, ada dua posisi dalam interaksinya. Yaitu rakyat dan pemimpin, ups untuk wakil rakyat maaf tak tercantum, tahu tuh ada apa nggak, ya memang secara de jure ada, tapi de facto ah siapa yang diwakilinya?

Kalau dulu waktu saya mengenyam bangku sekolah yang tak tinggi tinggi amat. Pelajaran bernegara menyebutkan syarat berdirinya negara ada tiga pokok plus satu. Rakyat, wilayah, pemimpin plus pengakuan dari negara lain. Ya kalau negeri saya tercinta ini tentu sudah memiliki syarat-syarat tersebut, hanya saja apakah syarat syarat tersebut benar secara substansi atau hanya sekadar halusinasi.

Agak berat bagi saya bicara seperti ini, tapi emang dasar penulis sok tahu ya dimaklumi saja. Tapi saya sangat mengharap koreksi dan masukan dari pembaca sekalian. CMIIW J

OK, sebelumnya saya harus menegaskan posisi saya dalam negara ini. Sebagai rakyat atau pemimpin. Sebagai objek yang sudah khatam menanggung derita segala kebijakan dan keserakahan negara, yang selalu pasrah dan narimo arogansi ekonomi dan politik negara, maka jelas posisi saya disini sebagai rakyat, rakyat lebay mungkin, atau rakyat cengeng juga bisa. Hehehe, maklum yang lain mencoba fight sendiri tanpa bapak yang mengayomi, saya Cuma koar-koar tentang kondisi yang nyaris sekarat ni.
Atau Cuma bisa demo sana sini, bakar ini itu, yang penting ada imbalan, entah tu posisi politis di kemudian hari atau paling apes ya Cuma dapat nasi bungkus sudah syukur.

Sampai disini apa saya harus menyalahkan jaman? Jamannya sudah begini, Tuhan sudah menjelma menjadi uang, dalil-dalil malaikat sudah usang, kualitas gak penting, yang penting kuantitas, kuantitas kampanye, pemilih, iklan, nyuap rakyat, nyuap ustadz, kalau perlu nyuap Tuhan. Tuhan jadi sarana seksi sekali untuk kampanye. Tuhan masuk parpol, Tuhan berwarna hijau, Tuhan berwarna putih, Tuhan biru erem. Suara rakyat suara Tuhan, suara rakyat suara partai kuning, hahaha sempruuul. Membumilah kawan, apa niatmu tentang target apa yang kau anggap sukses? Sehingga mati-matian dengan tim sukses, tim yang membawamu sukses secara personal, atau secara personal plus koalisimu, atau secara personal plus koalisi plus simpatisanmu, atau secara keseluruhan rakyatmu?? Jawab pake hati jangan pake alibi, utekku ra nyandak.

Tapi ada satu issue kampanye yang miris namun selalu menggiurkan untuk selalu diangkat. Kemiskinan, alasan dari rendahnya pendidikan, kesehatan, dan tingginya kriminalitas di negara ini. Kenapa setiap kampanye, itu yang kerap diangkat? Apakah tak ada perubahan dari tiap masa kampanye? Semoga saja tak disett sedemikian hanya untuk menjadi umpan manis merebut kuasa, jujur rakyat sudah bosan.

Wassalam,
                                                                                      Aditya feri wardani
                                                                                  Klaten, 21 Juni 2012

0 komentar:

Posting Komentar