Selasa siang, kawan saya, mas Fajar seorang pentolan (atau lebih nyamannya menggunakan kata aktivis ) OI Klaten mengirim pesan pada saya. Memberitahu kalau Bung Iwan besok Sabtu akan tampil konser di Boyolali. Menanyakan apakah mau hadir atau tidak, karena dia yang pegang undangan untuk wilayah Klaten. Ya, maklum konsernya bukan untuk
umum, meski penyelenggaranya Pemkab Boyolali dalam rangka perayaan atas penerimaan penghargaan Adipura yang entah keberapa kali berturut-turut saya lupa, hehe. Tapi emang nggak ada tiket yang diperjualbelikan, hanya disarankan memberi uang kas Oi saja.
Wooww, kapan lagi coba nonton Bung Iwan gretongan? Hahaha. Sudah pasti saya antusias hadir, meski harus membatalkan beberapa agenda yang memang kebetulan untuk malam minggu tersebut banyak. Ya, bukan sok penting ya, tapi emang ada banyak passsss malem minggu itu.
Sabtu, 9 juni 2012
Ada kejadian konyol pagi harinya. Undangan yang sudah saya ambil Jum’at sore tak sengaja tercuci, karena saya lupa naruhnya di celana. Buseeet, rasanya bener bener nggak karuan. Ya, dengan PD aja saya coba minta lagi sama mas Fajar, alhamdulillah undangannya masih sisa. Tapi saya harus wajib kumpul jam dua siang. Awalnya emang aneh, konser jam tujuh kok kumpulnya jam dua, hehehe, tapi saya emang pernah mengalami hal serupa, saat hendak menonton Timnas Indonesia melawan Timnas Palestina di Stadion Manahan Surakarta. Kick off jam setengah delapan, tapi saya berangkat bareng kawan saya jam satu siang. Gilaaa, tapi wajar meski saat itu sedang puasa bulan Ramadhan, karena euforia timnas tengah melanda efek dari kemenangan atas Turkmenistan di ajang PPD 2014. jam dua, saat tiba di stadion, suasananya pun sudah penuh sesak antrean calon penonton meski loket belum dibuka. Hehehe, it,s OK, biarlah menjadi kenangan indah dalam memori saya sebagai suporter Timnas yang saat itu menang telak 4-1.
Bayangan saya sebelumnya seperti itu, barangkali antreannya di Stadion Pandanarang Boyolali juga panjang.
Jam dua kurang seperempat saya tiba di Base Camp OI Klaten. Tapi kok baru segelintir yang hadir. Saya tanya mas Rosyid, ini bener mau berangkat jam dua. Yo ora lah jam eneman paling, cerak kok mung lor Jatinom kui, jawabnya. Sialll, mas Fajar hanya tertawa. Tapi gak papalah yang penting saya dapat undangan baru lagi. Hahaha. Apalagi para bahurekso yang selalu welcome pada para pendatang, membuatku nyaman.
Sampai jam menunjukkan pukul enam kurang beberapa menit, sekitar duapuluhan motor sudah siap bertolak ke Boyolali. Luar biasa kehangatan dalam kebersamaan ini. Saya berbonceng dengan Adi, yang saya apresiasi totalitasnya saat teatrical.Juga bercerita banyak tentang pengalamanya menjadi OI, yang membawanya ke Kendal atau sampai ke Lamongan. Sementara saya, hehehe hanya jadi Oi pasif.
Benar saja, jam tujuh stadion dan sekitarnya sudah hiruk pikuk. Spanduk Oi bertebaran, dari Oi sukoharjo, Surabaya sampai Oi Denpasar. Memang harus diakui fanatisme Oi nggak kalah dengan fanatisme suporter bola.
Meski ini bukan konser tunggal Bung Iwan, karena selain Bung Iwan ada juga Oppie Andaresta, Elpamas, Godbless, dan Sawung Jabo tapi tetap saja yang ditunggu sebagian besar para penonton adalah penampilan Mas Tanto (iwan fals, red).
Sekitar jam sepuluh, yang ditunggu keluar juga. Meski usia sudah menua, tapi itu yang justru membuat kharismanya makin kuat. Iwan Fals, luar biasa. Saya jadi teringat lima tahun yang lalu, saat awal-awal menikmati lagu-lagu Bung Iwan. Yang membuat saya tertarik mengamati kebijakan-kebijakan ngawur pemerintah, belajar menulis puisi yang cuek tapi dalem banget seperti lirik lagunya Bung Iwan. Ya, memang nggak berefek apa yang saya maknai jika demikian, hanya kemarahan pada para ulil amri politik di negeri ini. Itu yang saya khawatirkan, saya selalu mencoba mengendalikan diri untuk tak larut dalam kedendaman ini. Karena saya belajar mengaca pada diri saya sendiri, yang memang niat marahku tidak baik. Marah pada pemimpin ngawur, hanya karena bermimpi jadi pemimpin yang ikut meneruskan kengawurannya. Teriak mereformasi, padahal sebenarnya yang harus direformasi.
Hahaha, dulu sempat berkhayal jadi publik figur, entah itu Bupati, Ustadz, Artis sinetron, atau seniman yang ingin diakui masyarakat sebagai pahlawan penyebar kebaikan. Ya, mungkin tujuannya baik tapi niatku juga ngawur. Haruskah pahlawan butuh penegasan dan pengakuan masyarakat. Beberapa tahun ini saya coba bakar niat seperti itu, biarlah saya belajar lulus jadi manusia dulu.
Belajar dan terus belajar, dimanapun dan kapanpun saya berada. Termasuk saat konser Bung Iwan, belajar pada rasa persaudaraan OI, sekaligus belajar menahan diri dari ajakan meminum miras oleh sebagian oknum Oi yang kadang kelewatan.
Aditya Feri wardani, 11 Juni 2012
Rabu, 13 Juni 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar