Senin, 02 Juli 2012

Saling kejar Saling tampar, Cemburu nafkah


SALING KEJAR, SALING TAMPAR
CEMBURU NAFKAH

Bicara mengenai nafkah, maka variabel-variabel dibawahnya mau tak mau ikut terbawa. Tentang tolak ukur sukses, cita-cita, aturan dan campurtangan negara tentang kebebasan berekspresi mencari riski sampai ukuran kesejahteraan hidup manusia di bumi. Memang bukan kompetensi saya bicara tentang ini, tapi namanya juga penulis amatir, referensi dan opininya pun juga amatir, tapi satu yang saya pegang saya nggak mau berbohong tentang apa yang pernah saya lihat, alami dan rasakan. Pada akhirnya meski jurnal ini sangat rendah dari sisi intelejensi, tapi semoga memberi manfaat, masukan dan renungan massal. Heleh heleh J. Sungguh, mohon kritik saya habis-habisan jika ada ketidakbenaran dalam tulisan ini, insya Allah saya sadar.

Suatu malam tak jauh dari keramaian alun-alun kota Jogja, sebagai anak yang meragukan untuk dibilang
masih muda hahaha, saya bareng lima teman sekerja nongkrong-nongkrong sambil ngobrol tentang apa saja, tentang wanita jelas tak dilewatkan dari perbincangan. Malam  makin larut, perut pun minta asupan lagi, berkelilinglah kami berenam mencari tempat makan yang pas, bukan pas tempatnya tapi pas di kantong maksudnya, haha. Akhirnya pilihan jatuh ke kedai bakso frenchise yang lumayan sudah tersebar di kota ini. Masuklah kami berenam, atu per atu.

Pemilik yang merangkap pelayan mempersilakan kami, umurnya terlihat tampak tua dengan kacamata yang sesekali dibenarkan posisinya. Beberapa kali bertanya agar pesanan kami tak keliru. Luar biasa, dengan usia yang nampak tak bertenaga beliau begitu tangguh menjalani pekerjaan demi menyambung hidup.

Banyak memang di sekeliling kita, di pasar pasar tradisional, di terminal, di sawah, ladang perempuan-perempuan mengagumkan dalam membangun prinsip hidup. Terus terang berulang kali saya tersindir dengan keadaan mereka, tanpa melihat apa latar belakangnya, yang pasti dan yang real mereka bisa mencari makan sendiri, membuat pekerjaan sendiri tidak seperti saya kesana kemari mengemis pekerjaan, sesekali menipu pengalaman, mencuri kepercayaan, bahkan mengkhianati rezeki Tuhan.

Harusnya manusia-manusia seperti ini yang ada di pikiranku sebagai guru. Bukan oleh guru yang haus penghormatan, dan kewenangan, memaksakan kehendak bahwa guru memang selalu benar. Yah, ini soal kata yang ada KBBI saja, pada kenyataanya jelas pengalamanku berbeda dengan pengalamanmu.

****

Dulu, ketika saya berbicara nafkah maka pikiran awal saya tanpa hambatan langsung tertuju ke pundi-pundi uang yang bisa saya dapatkan. Berapa rupiah hasil dari apa yang saya kerjakan. Apa saja materi yang dapat saya koleksi. Begitu.. kurang tahu apa ini memang naluriku atau memang lingkungan yang sempurna menghasutku, mungkin sok suci kalau saya menyalahkan lingkungan. Kalau kau tak bisa menari, jangan salahkan lantainya. Bener nggak sih? Ya, memang disepakati atau tidak saya juga masuk lingkungan yang ikut turut menciptakan ukuran ukuran dalam kehidupan. Nafkah itu begini, sukses itu begitu, cakep itu begini, jelek itu begitu, sholih itu ya harus begini, kafir itu ya yang begitu!! Hahaha inilah penjara pikiran yang dasarnya prasangka dan sugesti diri berada di pihak yang benar.

Lalu apa yang saya pikirkan sekarang mengenai nafkah? Yang kedengarannya memang mulia. Saya sendiri malah bingung, dalam kamus hidup kata itu malah hilang artinya terganti rupiah dan rupiah kalau perlu sesekali waktu berganti won atau yen. Dalam bayang prinsip ekonomi, modal sekecil-kecilnya tapi hasil sebesar-besarnya. Tenaga, keringat dan tanggung jawab sekecil mungkin, tapi rupiah yang saya peroleh harus semaksimal mungkin. Rindukan upah dahulu, baru jalankan apa kewajiban saya. Setiap waktu yang terbuang maka peluang uang-uang ikut terbuang. Kalau perlu membantu untuk uang, kalau masih kurang ibadah pun demi uang. (gak) masalah kan??

Maaf, kali ini saya memang berbohong, lagi senang membohongi diri, tapi dengan demikian maka saya benar merasa bodoh. Perlu kalibrasi kebersihan logika saya, khususnya mengenai rizki dan berkah Tuhan, yang mungkin selama ini nyaman tertutup persepsi seperti itu. Nggak peduli kerja di swasta atau negeri yang penting banyak duit. Nggak peduli Cuma mencuri terang-terangan atau mencuri secara halus.

Lalu posisi saya sekarang sebagai buruh pabrik?? Dengan penghasilan yang memang relatif minim. Ingin lebih maju, maju seperti apa, kalau sudah nyaman seperti ini tapi memang kerap cemburu. Ingin menghibur diri, lihat kebawah, hakimi yang di bawah tertawakan kalau perlu itu buatku tersenyum. Dan peran negara seringkali bermuka dua, sesekali malaikat, namun sering berperan iblis. Sedang saya cenderung menjadi iblis. Ya, akhir kata saya harus jujur bahwa akhir-akhir ini saya memang belajar membohongi diri seperti ini, dan maaf jurnal ini pun jurnal bo’ong-bo’ongan.

CMIIW
Wassalam

Aditya Feri Wardani, 03 Juli 2012

0 komentar:

Posting Komentar