SALING KEJAR, SALING TAMPAR
CEMBURU NAFKAH
Bicara mengenai nafkah, maka variabel-variabel dibawahnya
mau tak mau ikut terbawa. Tentang tolak ukur sukses, cita-cita, aturan dan
campurtangan negara tentang kebebasan berekspresi mencari riski sampai ukuran kesejahteraan
hidup manusia di bumi. Memang bukan kompetensi saya bicara tentang ini, tapi
namanya juga penulis amatir, referensi dan opininya pun juga amatir, tapi satu
yang saya pegang saya nggak mau berbohong tentang apa yang pernah saya lihat,
alami dan rasakan. Pada akhirnya meski jurnal ini sangat rendah dari sisi
intelejensi, tapi semoga memberi manfaat, masukan dan renungan massal. Heleh
heleh J.
Sungguh, mohon kritik saya habis-habisan jika ada ketidakbenaran dalam tulisan
ini, insya Allah saya sadar.
Suatu malam tak jauh dari keramaian alun-alun kota Jogja, sebagai anak yang meragukan untuk dibilang
masih muda hahaha, saya bareng lima
teman sekerja nongkrong-nongkrong sambil ngobrol tentang apa saja, tentang
wanita jelas tak dilewatkan dari perbincangan. Malam makin larut, perut pun minta asupan lagi,
berkelilinglah kami berenam mencari tempat makan yang pas, bukan pas tempatnya
tapi pas di kantong maksudnya, haha. Akhirnya pilihan jatuh ke kedai bakso
frenchise yang lumayan sudah tersebar di kota
ini. Masuklah kami berenam, atu per atu.
Pemilik yang merangkap pelayan mempersilakan kami, umurnya
terlihat tampak tua dengan kacamata yang sesekali dibenarkan posisinya.
Beberapa kali bertanya agar pesanan kami tak keliru. Luar biasa, dengan usia
yang nampak tak bertenaga beliau begitu tangguh menjalani pekerjaan demi
menyambung hidup.
Banyak memang di sekeliling kita, di pasar pasar
tradisional, di terminal, di sawah, ladang perempuan-perempuan mengagumkan
dalam membangun prinsip hidup. Terus terang berulang kali saya tersindir dengan
keadaan mereka, tanpa melihat apa latar belakangnya, yang pasti dan yang real
mereka bisa mencari makan sendiri, membuat pekerjaan sendiri tidak seperti saya
kesana kemari mengemis pekerjaan, sesekali menipu pengalaman, mencuri
kepercayaan, bahkan mengkhianati rezeki Tuhan.
Harusnya manusia-manusia seperti ini yang ada di pikiranku
sebagai guru. Bukan oleh guru yang haus penghormatan, dan kewenangan,
memaksakan kehendak bahwa guru memang selalu benar. Yah, ini soal kata yang ada
KBBI saja, pada kenyataanya jelas pengalamanku berbeda dengan pengalamanmu.
****
Dulu, ketika saya berbicara nafkah maka pikiran awal saya
tanpa hambatan langsung tertuju ke pundi-pundi uang yang bisa saya dapatkan.
Berapa rupiah hasil dari apa yang saya kerjakan. Apa saja materi yang dapat
saya koleksi. Begitu.. kurang tahu apa ini memang naluriku atau memang
lingkungan yang sempurna menghasutku, mungkin sok suci kalau saya menyalahkan
lingkungan. Kalau kau tak bisa menari,
jangan salahkan lantainya. Bener nggak sih? Ya, memang disepakati atau
tidak saya juga masuk lingkungan yang ikut turut menciptakan ukuran ukuran
dalam kehidupan. Nafkah itu begini, sukses itu begitu, cakep itu begini, jelek
itu begitu, sholih itu ya harus begini, kafir itu ya yang begitu!! Hahaha
inilah penjara pikiran yang dasarnya prasangka dan sugesti diri berada di pihak
yang benar.
Lalu apa yang saya pikirkan sekarang mengenai nafkah? Yang
kedengarannya memang mulia. Saya sendiri malah bingung, dalam kamus hidup kata
itu malah hilang artinya terganti rupiah dan rupiah kalau perlu sesekali waktu
berganti won atau yen. Dalam bayang prinsip ekonomi, modal sekecil-kecilnya
tapi hasil sebesar-besarnya. Tenaga, keringat dan tanggung jawab sekecil
mungkin, tapi rupiah yang saya peroleh harus semaksimal mungkin. Rindukan upah
dahulu, baru jalankan apa kewajiban saya. Setiap waktu yang terbuang maka
peluang uang-uang ikut terbuang. Kalau perlu membantu untuk uang, kalau masih
kurang ibadah pun demi uang. (gak) masalah kan??
Maaf, kali ini saya memang berbohong, lagi senang membohongi
diri, tapi dengan demikian maka saya benar merasa bodoh. Perlu kalibrasi
kebersihan logika saya, khususnya mengenai rizki dan berkah Tuhan, yang mungkin
selama ini nyaman tertutup persepsi seperti itu. Nggak peduli kerja di swasta
atau negeri yang penting banyak duit. Nggak peduli Cuma mencuri terang-terangan
atau mencuri secara halus.
Lalu posisi saya sekarang sebagai buruh pabrik?? Dengan
penghasilan yang memang relatif minim. Ingin lebih maju, maju seperti apa,
kalau sudah nyaman seperti ini tapi memang kerap cemburu. Ingin menghibur diri,
lihat kebawah, hakimi yang di bawah tertawakan kalau perlu itu buatku
tersenyum. Dan peran negara seringkali bermuka dua, sesekali malaikat, namun
sering berperan iblis. Sedang saya cenderung menjadi iblis. Ya, akhir kata saya
harus jujur bahwa akhir-akhir ini saya memang belajar membohongi diri seperti
ini, dan maaf jurnal ini pun jurnal bo’ong-bo’ongan.
CMIIW
Wassalam
Aditya Feri Wardani, 03
Juli 2012
0 komentar:
Posting Komentar