Kamis, 05 Juli 2012

rindu puasa, tak rindu Ramadhan


Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Ramadhan tahun lalu seperti baru saja berakhir, kini kita sudah mengintip ramadhan lagi, bukan ramadhan pohan lho hehehe. Seperti ramadhan-ramadhan sebelumnya hampir dipastikan masjid ataupun mushola akan dipenuhi tamu tahunannya, termasuk saya yang jarang jamaah di masjid bukan karena nggak kepincut pahalanya yang 27 derajat loh, tapi kok ngrasa emang khusuk munfarid ya, nah loh khusuk yang mana itu?? Sugesti diriku saja kali ya, yang masih kacau, maklumlah saya kan mu’allaf setiap hari. :p

Well, saya nggak mau ngitung-ngitung pahala ini sekian lipat, itu sekian lipat, itukan bisnis bangeeett, iya memang saya percaya akan
hari perhitungan, tapi itu kan murni otoritas Tuhan, masak iya saya bisa mendikte Tuhan. Tugas saya kan mencari kesadaran tertinggi, kalau saya itu punya hati, nurani, logika dan aktualisasi moral. Ingat ya kesadaran, bukan paksaan atau karena hasutan. Makanya saya sendiri terheran juga banyak pihak mengklaim pembela Tuhan, pembela agama Tuhan, apa Tuhan perlu agama? (yang dalam bahasa sansekerta artinya tidak tersesat). Sampai ngotot petantang petenteng bawa senjata penuh emosi tapi kok teriakannya asma Tuhan? Sadar atau Cuma setengah sadar ya para hakim-hakim spiritual itu? CMIIW J

ramadhan itu bulan pengampunan, penuh berkah. Ya barangkali televisi-televisi swasta sibuk memilih sponsor karena begitu menumpuk di meja kantor, atau untuk artis-artis yang kebanjiran order melawak dengan tarif yang sedikit dinaikkan, tapi krisis bahan lawakan karena pasti lawakan mbencong dan seputaran selangkangan bakal jadi guilottine mematikan dari KPI selama ramadhan. Mungkin juga penyedia sarana transportasi, baik BUMN maupun swasta, atau pengayuh becak dapat penumpang melimpah, begitupun calo-calo di setiap sudut stasiun dan terminal kecipratan berkah. Atau pedagang-pedagang pasar sibuk dengan sambilan membuat jajanan takjil, yang omsetnya unggul jauh dari anggaran jajan hari biasa, juga buruh-buruh pabrik yang menanti THRan, atau pejabat-pejabat teras yang sibuk menampung parcel rekan komplotan, tak lupa PNS-PNS kegirangan menyambut jam kerjanya yang disunat, tapi upah gak boleh disunat, ya semua merasa mendapat berkah. Semua melampiaskan suka citanya menyambut ramadhan, urusan lapar dan haus itu hanya sebatas waktu, dan segera terlampiaskan kalau waktu berbuka tiba. Apa memang puasa begitu?? Atau sudah tradisi ritual tahunan, kalau puasa itu nggak makan, nggak minum, nggak boleh ada yang jualan, nggak boleh ngomong tidak benar, gak boleh berdekatan lawan jenis, tapi begitu berbuka semua pengekangan batal.

Perlu pemahaman lebih dalam lagi mengenai puasa, hal yang diwajibkan selama sebulan penuh nantinya. Karena puasa itu ya puasa, sebagai manusia yang berulang kali saya tulis di beberapa artikel memiliki kecenderungan naluri melampiaskan ketimbang mengendalikan, saat puasa, bukan hanya di bulan Ramadhan saja kita belajar bagaimana mengendalikan diri dari nafsu melampiaskan. Apa yang dikendalikan? Nafsu, ya nafsu. Nafsu adalah penghalang pencarian kebenaran sejati, nafsu adalah musuh yang bersemayam dalam diri, itu sebabnya Rasulullah SAW bersabda : musuh paling berbahaya dalam dirimu adalah nafsu yang berada di antara dua lambungmu
Nafsu memang harus dilawan, tapi sebelumnya saya kutip dari sebuah buku alegori yang pernah saya baca, ada tiga jenis nafsu, nafsu mutmainnah, yang berdiam diri dalam naungan perintah-Nya, nafsu lawwanah yang gusar dan gelisah, tapi masih mampu menahan syahwat, dan terakhir nafsu amarah, yang tergoda kesenangan-kesenangan jasadiah. Jadi nafsu yang harus kita perangi adalah nafsu amarah.

Mengendalikan, apa itu juga urusan batas waktu. Sabaar sebentar lagi berbuka, marahnya ditunda lagi puasa nanti bisa hilang pahalanya, nasihat-nasihat yang terdengar bijak tapi melecehkan kesadaran dan keikhlasan dalam berpuasa. Seakan mengendalikan nafsu hanya sekadar kontrak waktu. Jujur, saya juga sedang belajar keras mengenai ini, puasa kita itu masih puasa dendam, makan minum hanya ditahan sebentar, tapi saat berbuka seperti drakula yang santap sana sini, makan ini itu cermin pelampiasan yang sama sekali tak terkendali. Terlebih arogansi yang membabi buta memaksa pedagang makanan kecil, asongan untuk tak boleh mencari bahan hidup selama siang hari, mengganggu yang berpuasa katanya, atau kalaupun tdak kita menghakiminya dalam hati ini pedagang nggak ngerti agama apa ya? oalah Tuhan kenapa lagi-lagi kita nyaman melampiaskan ketimbang mengendalikan. Yang berbesar hati mungkin bersedia dengan iming-iming pahala meski lubang hutang makin lebar karena pendapatan berkurang, yang kecil hati hanya bisa merutuki nasib kenapa jadi pedagang tak jadi PNS saja.

Sementara di suatu tempat, agama masih jadi bahan kesombongan yang syiarnya sampai berbusa-busa sekian juta memenuhi layar kaca, sore hari anak-anak TPA berkumpul senang menanti jatah takjilan, sambil mencatat buku amalan yang mungkin direbut dari malaikat, ya setiap ramadhan di negeri ini anak-anak punya kewenangan istimewa, mencatat buku amal sendiri, dan guru sebagai hakimnya. Takjil masing jadi iming-iming paling seksi tumbuh kembalinya TPA, yang nyaris mati suri ketika bulan ramadhan berakhir. Meski juga beberapa orangtua ikut berebut takjil, bisa dimaklumi untuk sekadar membatalkan puasa, tapi barangkali sesekali orangtua mengalami siklus kembali ke masa kanak-kanak.

Mungkin itu yang membuat kita sukacita menanti ramadhan segera tiba. Hingar bingarnya, tradisi ritualnya, sementara saya justru kini biasa saja, kalau khotib pernah bilang orang yang suka cita saja menyambut ramadhan, dan meninggal maka syurga balasannya, mungkin saya tak terangkut ke dalam surga karena saya tak rindu ramadhan, saya rindu puasa, saya rindu mengendalikan dari hingar bingar berstempel ibadah, bukan puasa dari makan dan minum saja tapi lebih pengendalian nafsu amarah kita. Ya, setuju tidak setuju banyak tafsiran mengenai puasa. Mungkin saya masih banyak keliru, tapi semoga kita semua masih konsisiten, tiap hari sholat, ihdinasshirotul mustaqim, tunjukkan kami jalan yang lurus. Sudah dikasih jalan yang lurus, minta lagi tunjukkan, diperjelas lagi jalan lurusnya, minta lagi, berkali-kali tanpa bisa kita pahami mengapa kita begitu bebal terhadap kesejatian?

CMIIW
Wassalam

Prambanan, 6 Juli 2012
Aditya Feri Wardani

0 komentar:

Posting Komentar