Jumat, 20 Juli 2012

Pagi Ramadhan

Kabut tak terlalu pekat, tapi hawa dingin begitu melekat ketika adzan subuh terdengar sahut-sahutan dari corong toa-toa masjid di kampung kami. Semua tampak khusuk mengakhiri makan sahurnya, tampak begitu nikmat kembali menjalani ritual Ramadhan sebagaimana biasa tahun-tahun sebelumnya. Kampung kami menggeliat sepagi ini, ya hawa dingin separah apapun tak dihiraukan. Seperti menyindir pulasnya ayam jantan. Masjid penuh. Subuh.


Kampung Lama, inilah kampungku. Dengan penghuni yang kebanyakan memang muslim, tak mengherankan jika saat Ramadhan akan meriah ini. semarak, dengan penuh agenda ritual yang banyak. Si Udin dan teman-temannya yang paling bahagia, banyak liburan, sore takjilan, pas lebaran dapat banyak uang. Ah, tapi mungkin juga Pak Kirdjo yang jam kerjanya dipangkas, demi mencari amal sesekalipun tak apa.

Tapi barangkali segelintir juga khawatir, Mbok Inem yang warung makannya bakal sepi di siang hari, sementara kebutuhan modal usaha dan hidupnya makin mahal nggak ketulungan, tapi semua orang sudah sepakat menganggap ini wajar, mungkin truk-truk pengangkut sembako yang terjebak macet, hingga anggaran transportnya membengkak, atau memang upah jasa orang berpuasa itu harus lebih tinggi karena jam kerjanya nggak ikut disunat. Kenyataannya pedagang dan pembeli harus menerima kenyataan kalau harga kebutuhan memang melonjak naik, semoga usai lebaran turun lagi.

Lebih ngenes lagi, karaokeannya Pak Harja yang sedikit jauh di tepian kota sana, yang dipaksa tutup oleh sebagian orang-orang berpakaian putih yang bicaranya sering dengan nada tinggi, semua tempat hiburan harus tutup katanya, itu waktunya untuk ibadah, tarawih, wiridan tadarus, dan itu harus dihormati. pak Harja hanya mengangguk takut. yang dipikirkan mungkin rezeki memang diatur Tuhan, tapi lewat tangan orang-orang "suci" itu. beberapa anak muda terdiam kecut, nggak bisa nyanyi-nyanyi nanti malam.

seperti saran Ustadz mansyur agar semua orang harus menghormati orang yang berpuasa. Tapi, ah aku malah teringat ucapan Mas Prapto, kuli pabrik tekstil yang hanya lulusan SMP itu, justru dengan puasa kita belajar menghormati orang lain yang berpuasa bahkan yang tidak berpuasa sekalipun, karena hanya orang yang tidak terhormat yang begitu rindunya dihormati. Aku tersentak. Logika jungkir balik, akrobat indah. Bagiku sendiri, biarlah semua berjalan. Anugerah Tuhan adalah hari ini, detik ini. Jadi terserah bagaimanapun kalian memandang, asal tetaplah kita mencari kesejatian hati nurani.

0 komentar:

Posting Komentar