Kamis, 31 Mei 2012

JURNALIS, sebuah mimpi yang mahal


Sekitar dua bulan yang lalu, pada pertengahan bulan Maret seingat saya. Sempat mampir sebuah mimpi indah tapi sekarang akhirnya resmi menjadi hanya sebuah kata ‘mimpi’. Saya begitu semangat untuk menggapai mimpi itu, bahkan beberapa kali bolos kerja sekadar mengumpulkan segala persyaratan yang wajib terpenuhi, tapi ada satu syarat yang tidak saya sadari untuk kelak yang menjadi faktor utama saya gagal. Lucu memang, tapi ngelu di hati bagi saya. Sebuah info beasiswa S1 untuk calon mahasiswa kurang mampu yang diselenggarakan dompet Duafa. Ya, kalau bicara kurang mampu saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk menanggapi pertanyaan bertubi tubi dari seorang kawan saya. Karena memang perbedaan tolak ukur atau memang tolak ukur yang belum jelas benar mengenai itu.

Saya sudah mensett apa rencana menyambut peluang emas tersebut. Kuliah. Ilmu. Provesional. Menulis. Jurnalis. Ya, kata terakhir
yang selalu membuat keringat saya tak henti mengalir sebelum mimpi terhenti duluan. Sebentar, kawan kawan saya mungkin heran atas mimpi saya satu ini. Jurnalis, dari pikiran tamatan STM mesin, yang sekarang pun dunianya tak jauh dari urusan besi, kok pindah haluannya konyol banget. Berurusan dengan tinta, wawancara, informasi. Apa tidak salah? Apa kamu mampu? Mimpimu terlalu muluk! Tanggapan seperti itu mulai akrab menemani hari hari bermimpiku. Sampai akhirnya saya terbangun. Syarat untuk dapat beasiswa utamanya lolos PTN yang dituju (disini saya memilih UnPad), dan ternyata syarat SNMPTN utamanya lulusan 2012 dan DUA TAHUN sebelumnya. Alhamdulillah, akhirnya kuasa negara dengan kebijakannya telah mengangkangi do’a-do’aku semalam. Saya yang lulusan tahun 2009 dipaksa gigit jari, hehehe. Jelas kecewa karena sebelumnya dengan beberapa teman yang sedang mengenyam bangku kuliah saya bertanya mengenai itu (SNMPTN), ternyata kebanyakan bilang batasnya 5tahun, 4tahun, atau malah nggak ngerti soal itu.

Usaha saya tampaknya makin sia-sia, bahkan berpotensi memundurkan mental saya. Ini yang bahaya. Sebuah pesan seorang kawan dari Ngawi, akhirnya mampu mendinginkan pikiran itu. Ya, kuliah tak selamanya di universitas. Karena harfiahnya pun kuliah bermakna menyeluruh, tidak tersub-sub seperti saat ini. Pintar dalam kehidupan lebih bermanfaat dari hanya sekadar pintar sekolahan. Kalau tak lihat sampeyan seperti Gatutkaca, tinggal menunggu tempat yang tepat untuk mengobarkan bara yang terpendam itu. Katanya yang menurut saya sangat berlebihan.

Lalu kenapa harus jurnalistik? Bukan teknik atau pertanian yang sempat saya impikan waktu kecil? Pertanyaan sederhana, tapi justru membingungkan saya untuk menjawab. Teknik, mesin apalagi memang menarik tapi jiwa saya seakan terkurung pada keterpaksaan. Seperti niat awal melanjutkan sekolah ke STM tentu orang tua berharap agar saya cepat dapat kerja dan bisa setdaknya membantu keuangan keluarga. Itu. Ya memang tuntutan semacam itu, yang jadi doktrin selama masa belajar formal dulu. Tentu tak salah, kuliah pun banyak didasari niat untuk itu, terlepas dari niat sekunder untuk benar-benar mencari ilmu dan mengembangkannya. Tapi mungkin anggapan saya ini salah, mohon dimaklumi saya belum kuliah. Hehehe.

Apalagi kehidupan jurnalis di negeri ini pun belum dapat dijamin keamanannya, dalam menuangkan opini publik terlebih opini pribadi. Riskan. Tapi hal itu justru yang menantang saya belajar mengenainya. Belajar mengungkap kebenaran dari keterpura puraan informasi, bahkan kebohongan konspirasi. Sok, benar benar sok mimpi saya. Sok pahlawan, sok bisa melihat kebenaran, padahal diluar sana pun banyak jurnalis yang nyaman untuk didekte pihak yang membutuhkan kejurnalisannya. Tanpa lihat ini salah atau ini benar, tapi sekadar pikiran kilat pragmatis, ini untung atau ini rugi. Hehehehe, semoga saya lagi lagi keliru.

Sahabat dari Bandung, sempat memberi saya motivasi. Apakah jurnalis hanya untuk profesi?
Untuk menjawab pertanyaan mahasiswi yang cantk luar dalam itu, maka saya mencoba mencari jawaban yang diplomatis, meski memang masih didiplomatis-diplomatiskan. Hahaha.
Ya, jawabannya memang relatif, tergantung apa kepentingan yang dibawa. Kalau saja hanya menjadi jurnalis amatir tanpa ilmu yang memadai dan lembaga yang menaungi, bukankah dikhawatirkan jadi jurnal sesat.

Mungkin ia tertawa mendengar jawaban saya tersebut, hehehe. Semoga ia tak sampai tanya, apa itu jurnalis amatir, karena saya belum dapat jawaban selain jurnalis yang nggak dibayar. Tapi niat saya kan hanya ingin memberi informasi yang benar, just it tanpa embel embel gaji yang melimpah. Benar, tapi memang saya coba belajar untuk tak munafik. Merindukan pamrih, tapi tak merindukan kerja bukankah itu niat mencuri? Pamrih itu anugerah dari Tuhan.

Ampuuun dah, sampai ngomongin mencuri segala. Semoga mimpi saya tak tercuri, hanya tertahan sebentar. Sebentar, seperti mimpi yang kemahalan tersebut.

Wassalam,,,

Prambanan, 30 Mei 2012

3 komentar:

Pratiwi Kurniastuti mengatakan...

Dith tulis mimpimu di selembar kertas dan tempelkan itu di dinding kamarmu... baca tiap hari, sambil lalu juga ga papa... ceritakan apa yang kamu rasakan! dan beritahu aku jika nanti kamu sudah meujudkannya ;)
tetaplah berusaha karena kamu tidak akan mengetahui seberapa jauh lagi tujuanmu itu. mungkin hanya 5 cm lagi?? hanya Allah yang tahu :D

aditya mengatakan...

iya, makasih tiwii.. hahahaha, kemarin dapat masukan dari bapak temenku. orangnya seneng seni gitu deh, jadi wartawan gak harus kuliah di jurnalistik. yen ndisik tau ono kursus wartawan aku yo tau melu, akeh kok sing ra kuliah tapi kerep ngirim tulisan ke koran2 dadi wartawan.
yo pancen saiki jamane ijasah nggo pengakuan, udu kinerja nggo pengakuan. yo, saiki yen raisoh beasiswa, nyobo nyambi sing swasta, opo yo kui mau sok ngirim tulisan ng koran

:) semoga bertahan lama, nyantol di hati

Pelangi Tri Saki mengatakan...

HUAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA T.T

Posting Komentar