Sekitar dua bulan yang lalu, pada pertengahan bulan Maret
seingat saya. Sempat mampir sebuah mimpi indah tapi sekarang akhirnya resmi
menjadi hanya sebuah kata ‘mimpi’. Saya begitu semangat untuk menggapai mimpi
itu, bahkan beberapa kali bolos kerja sekadar mengumpulkan segala persyaratan
yang wajib terpenuhi, tapi ada satu syarat yang tidak saya sadari untuk kelak
yang menjadi faktor utama saya gagal. Lucu memang, tapi ngelu di hati bagi
saya. Sebuah info beasiswa S1 untuk calon mahasiswa kurang mampu yang
diselenggarakan dompet Duafa. Ya, kalau bicara kurang mampu saya bisa
menghabiskan waktu berjam-jam untuk menanggapi pertanyaan bertubi tubi dari
seorang kawan saya. Karena memang perbedaan tolak ukur atau memang tolak ukur
yang belum jelas benar mengenai itu.
Saya sudah mensett apa rencana menyambut peluang emas
tersebut. Kuliah. Ilmu. Provesional. Menulis. Jurnalis. Ya, kata terakhir
yang
selalu membuat keringat saya tak henti mengalir sebelum mimpi terhenti duluan. Sebentar,
kawan kawan saya mungkin heran atas mimpi saya satu ini. Jurnalis, dari pikiran
tamatan STM mesin, yang sekarang pun dunianya tak jauh dari urusan besi, kok
pindah haluannya konyol banget. Berurusan dengan tinta, wawancara, informasi. Apa tidak salah? Apa kamu mampu? Mimpimu
terlalu muluk! Tanggapan seperti itu mulai akrab menemani hari hari
bermimpiku. Sampai akhirnya saya terbangun. Syarat untuk dapat beasiswa
utamanya lolos PTN yang dituju (disini saya memilih UnPad), dan ternyata syarat
SNMPTN utamanya lulusan 2012 dan DUA TAHUN sebelumnya. Alhamdulillah, akhirnya
kuasa negara dengan kebijakannya telah mengangkangi do’a-do’aku semalam. Saya
yang lulusan tahun 2009 dipaksa gigit jari, hehehe. Jelas kecewa karena
sebelumnya dengan beberapa teman yang sedang mengenyam bangku kuliah saya
bertanya mengenai itu (SNMPTN), ternyata kebanyakan bilang batasnya 5tahun,
4tahun, atau malah nggak ngerti soal itu.
Usaha saya tampaknya makin sia-sia, bahkan berpotensi
memundurkan mental saya. Ini yang bahaya. Sebuah pesan seorang kawan dari
Ngawi, akhirnya mampu mendinginkan pikiran itu. Ya, kuliah tak selamanya di
universitas. Karena harfiahnya pun kuliah bermakna menyeluruh, tidak tersub-sub
seperti saat ini. Pintar dalam kehidupan lebih bermanfaat dari hanya sekadar
pintar sekolahan. Kalau tak lihat sampeyan seperti Gatutkaca, tinggal menunggu
tempat yang tepat untuk mengobarkan bara yang terpendam itu. Katanya yang
menurut saya sangat berlebihan.
Lalu kenapa harus jurnalistik? Bukan teknik atau pertanian
yang sempat saya impikan waktu kecil? Pertanyaan sederhana, tapi justru
membingungkan saya untuk menjawab. Teknik, mesin apalagi memang menarik tapi
jiwa saya seakan terkurung pada keterpaksaan. Seperti niat awal melanjutkan
sekolah ke STM tentu orang tua berharap agar saya cepat dapat kerja dan bisa
setdaknya membantu keuangan keluarga. Itu. Ya memang tuntutan semacam itu, yang
jadi doktrin selama masa belajar formal dulu. Tentu tak salah, kuliah pun
banyak didasari niat untuk itu, terlepas dari niat sekunder untuk benar-benar
mencari ilmu dan mengembangkannya. Tapi mungkin anggapan saya ini salah, mohon
dimaklumi saya belum kuliah. Hehehe.
Apalagi kehidupan jurnalis di negeri ini pun belum dapat
dijamin keamanannya, dalam menuangkan opini publik terlebih opini pribadi.
Riskan. Tapi hal itu justru yang menantang saya belajar mengenainya. Belajar
mengungkap kebenaran dari keterpura puraan informasi, bahkan kebohongan
konspirasi. Sok, benar benar sok mimpi saya. Sok pahlawan, sok bisa melihat
kebenaran, padahal diluar sana
pun banyak jurnalis yang nyaman untuk didekte pihak yang membutuhkan
kejurnalisannya. Tanpa lihat ini salah atau ini benar, tapi sekadar pikiran
kilat pragmatis, ini untung atau ini rugi. Hehehehe, semoga saya lagi lagi
keliru.
Sahabat dari Bandung,
sempat memberi saya motivasi. Apakah jurnalis hanya untuk profesi?
Untuk menjawab pertanyaan mahasiswi yang cantk luar dalam
itu, maka saya mencoba mencari jawaban yang diplomatis, meski memang masih
didiplomatis-diplomatiskan. Hahaha.
Ya, jawabannya memang relatif, tergantung apa kepentingan
yang dibawa. Kalau saja hanya menjadi jurnalis amatir tanpa ilmu yang memadai
dan lembaga yang menaungi, bukankah dikhawatirkan jadi jurnal sesat.
Mungkin ia tertawa mendengar jawaban saya tersebut, hehehe.
Semoga ia tak sampai tanya, apa itu jurnalis amatir, karena saya belum dapat
jawaban selain jurnalis yang nggak dibayar. Tapi niat saya kan hanya ingin memberi informasi yang
benar, just it tanpa embel embel gaji yang melimpah. Benar, tapi memang saya
coba belajar untuk tak munafik. Merindukan pamrih, tapi tak merindukan kerja
bukankah itu niat mencuri? Pamrih itu anugerah dari Tuhan.
Ampuuun dah, sampai ngomongin mencuri segala. Semoga mimpi
saya tak tercuri, hanya tertahan sebentar. Sebentar, seperti mimpi yang
kemahalan tersebut.
Wassalam,,,
Prambanan, 30 Mei 2012
3 komentar:
Dith tulis mimpimu di selembar kertas dan tempelkan itu di dinding kamarmu... baca tiap hari, sambil lalu juga ga papa... ceritakan apa yang kamu rasakan! dan beritahu aku jika nanti kamu sudah meujudkannya ;)
tetaplah berusaha karena kamu tidak akan mengetahui seberapa jauh lagi tujuanmu itu. mungkin hanya 5 cm lagi?? hanya Allah yang tahu :D
iya, makasih tiwii.. hahahaha, kemarin dapat masukan dari bapak temenku. orangnya seneng seni gitu deh, jadi wartawan gak harus kuliah di jurnalistik. yen ndisik tau ono kursus wartawan aku yo tau melu, akeh kok sing ra kuliah tapi kerep ngirim tulisan ke koran2 dadi wartawan.
yo pancen saiki jamane ijasah nggo pengakuan, udu kinerja nggo pengakuan. yo, saiki yen raisoh beasiswa, nyobo nyambi sing swasta, opo yo kui mau sok ngirim tulisan ng koran
:) semoga bertahan lama, nyantol di hati
HUAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA T.T
Posting Komentar