Sabtu, 01 Juni 2013

Topeng

Pagi itu, seperti biasa aku keliling. Hanya sesekali berhenti saat aku menemui tong sampah, Aku buka tutupnya aku obrak-abrik tanpa rasa risih apalagi jijik. Kadang tak ada hasil, payah dan lelah, tapi akhir-akhir ini aku kerap menyunggingkan senyum.

"Topeng yang menawan", barangkali pemiliknya sudah jenuh sehingga membuangnya aku pikir. Ya, akhir-akhir ini memang hasil pulunganku berupa topeng-topeng cukup memuaskan. Aku tak mau tahu kejenuhan macam apa orang-orang kota sehingga lebih sering mengganti topeng-topeng
mereka seminggu sekali, tiap hari bahkan tiap jam. Itu bukan urusanku untuk tahu. Karena bagiku itu murni hak mereka. Dan tugasku hanya memulungi topeng-topeng itu, memisahkannya dari sisa makanan basi, limbah-limbah industri.

Sudah lima topeng untuk hari ini, lumayan dari puluhan tong sampah tiga kompleks perumahan ini. Aku kembali ke rumah, bukan rumah sebenarnya hanya gubuk dari kardus yang kalau musim hujan aku bisa membangunnya tiap hari, tidak masalah, hanya aku khawatir pada topeng-topeng yang aku taruh di pojokan itu, bakalan mudah keropos dan dimakan rayap. Mungkin kalau proyek jalan tol belakang rumah sudah jadi, aku bisa dapat daratan yang lebih tinggi.

Aku tengok dalam rumah, masih kosong, Tarmijah istriku belum balik dari mengasong. Aku kagum semangatnya bekerja, katanya sejak memakai topeng yang aku temukan di depan gereja itu dia menjadi lebih semangat, haha aku bukan orang yang gampang percaya hal-hal mistis, tapi tiap kali aku larang dia pakai topeng dia pasti mengomel.
'Bapak itu pemulung topeng, meriasnya lalu menjualnya lagi, Bapak sering mencoba topeng yang bapak rias lah kenapa aku dilarang juga mencoba topeng ini, kalau gitu biar aku besok sendiri yang memulung topeng biar bebas milih mana yang aku suka', begitu omelannya sampai aku hapal. Sebenarnya bukan melarangnya memakai topeng, tapi topeng yang aku temukan di depan gereja itu istimewa, satu-satunya topeng yang tak aku pulung dari tong sampah, barangkali pemiliknya tak sadar topengnya tak sengaja jatuh, atau memang topeng yang memang terlepas sendiri dari wajah seorang jemaat atau biarawati, atau bisa juga orang yang lewat situ.
Tapi begitulah Tarmijah sejak pakai topeng itu, makin semangat cari duit. Ngasong sampai petang, dulu yang hanya ngetem di satu terminal sekarang stasiun, pasar juga ia babat. yang aku sesalkan ia sekarang mulai berani pasang tarif kalau tetangga minta dipijit atau kerokan, padahal dulu tak pernah mungkin sekali dua kali menolak karena kecapekan. 

Katanya sekarang apa-apa itu harus pake duit pak, setiap pekerjaan harus menghasilkan duit. Masak kita tak dihargai udah capek membantu kayak gini. kita harus harus jadi manusia yang bernilai pak!! harus bisa bangkit untuk bisa lebih kaya!
Membantu boleh saja dianggap tak bernilai, karena memang itu pekerjaan tak ternilai harganya, tapi tanggapanku seperti itu hanya dianggap angin lalu. Biarlah ia dengan impiannya.
Aku duduk di depan rumah, mengeluarkan lima topeng yang aku pulung tadi. Ada satu topeng yang bikin aku kepincut sejak tadi, Aku ambil kain lap di saku celanaku, penuh kehati-hatian aku usap topeng menawan itu. Goresan yang nyaris sempurna, sang pemahatnya punya selera seni yang tinggi tentu saja. Ada kumis tipis, bibir setengah tersenyum lesung pipit, aih begitu tampan.

Aku mulai bosan juga dengan topeng mimik pemurung yang aku pakai ini, nampak sekali kini topeng yang aku pakai sangat kadaluarsa dan nggak jaman. Aku ganti topeng yang aku pegang ini, nyaman sekali. Aku merasa makin berwibawa, dadaku membusung dan aku laksana seorang pahlawan, tak sabar aku susul Tarmijah untuk membantunya ngasong.

Topeng ini luar biasa, meski dari tong sampah perumahan, pinggir jalan yang sangat aku hafal, ya Jalan Cendana................................................................................

0 komentar:

Posting Komentar